Kota Bima, NTB || bimakita.com – Pengaspalan dan pemasangan lampu jalan menuju kawasan pegunungan So Temba Kolo, yang disebut-sebut sebagai akses menuju villa pribadi Wali Kota Bima, menuai sorotan luas dari masyarakat dan media sosial. Proyek tersebut dinilai janggal, terlebih dilaksanakan di tengah kondisi keuangan daerah yang tengah mengalami defisit serta banyaknya jalan lingkungan dan infrastruktur pertanian warga yang rusak parah namun tak kunjung tersentuh perbaikan.
Kebijakan pembangunan ini memunculkan dugaan kuat adanya proyek pesanan (by order) yang mengabaikan prinsip keadilan pembangunan, transparansi, dan akuntabilitas anggaran. Kritik publik semakin menguat lantaran proyek tersebut dinilai tidak memiliki urgensi dan manfaat luas bagi masyarakat.
Salah satu kritik keras datang dari warga melalui media sosial. Rizal Teddo, dalam unggahannya pada Senin (14/12/2025), mempertanyakan prioritas Pemerintah Kota Bima yang justru menghotmix jalan pegunungan menuju Temba Kolo, sementara jalan lingkungan warga di pemukiman padat penduduk rusak bertahun-tahun tanpa penanganan serius.
Jalan ke gunung menuju villa pejabat mulus dihotmix, sementara jalan rakyat di pemukiman dan akses pertanian hancur dibiarkan,” tulisnya.
Kondisi tersebut menimbulkan kontras tajam antara kepentingan publik dan dugaan kepentingan elite. Jalan menuju kawasan yang minim aktivitas ekonomi masyarakat luas justru diprioritaskan, sementara infrastruktur dasar yang menopang kehidupan warga sehari-hari terpinggirkan.
Diduga Tak Masuk APBD Murni, Muncul Pertanyaan Soal Perencanaan
Dilansir dari Informasi yang dihimpun JangkaBima.com menyebutkan bahwa anggaran pengaspalan jalan menuju Temba Kolo tidak tercantum dalam APBD Murni Tahun 2025, serta tidak pernah masuk dalam dokumen perencanaan awal seperti RKPD maupun KUA-PPAS. Proyek tersebut diduga bersumber dari pergeseran anggaran di awal tahun, yang semakin menguatkan tanda tanya terkait proses dan dasar kebijakannya.
Jika benar demikian, maka proyek ini patut dipertanyakan dari sisi perencanaan dan legitimasi anggaran, mengingat pergeseran anggaran seharusnya dilakukan untuk kondisi darurat dan kebutuhan mendesak masyarakat luas, bukan untuk proyek yang manfaatnya dipertanyakan.
Pengakuan Dinas Teknis: Program 2025, Namun Tetap Menyisakan Celah
Kepala Dinas PUPR Kota Bima melalui Kabid Bina Marga, Isdinurrahman, mengakui bahwa pengaspalan jalan menuju Temba Kolo memang telah dianggarkan di bidangnya untuk Tahun 2025. Namun, ia menyebutkan bahwa jalan lanjutan di bagian bawah menjadi kewenangan Bidang Cipta Karya.
Kalau jalan di pegunungan menuju Temba Kolo dilaksanakan Tahun 2025 ini,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa proyek tersebut berdasarkan usulan masyarakat yang telah beberapa kali disampaikan.
Sementara itu, Kabid Cipta Karya, Fachrurazi, mengonfirmasi bahwa pengaspalan (hotmix) jalan belok kanan dari pertigaan pertama menuju Temba Kolo juga merupakan program Tahun 2025 dan telah selesai dilaksanakan.
Baca Juga :
Untuk pemasangan lampu jalan, Kepala Dinas Perhubungan Kota Bima, Drs. Is Fahmi, menyebut bahwa itu bagian dari program pengadaan 150 titik lampu tenaga surya Tahun 2025 yang tersebar di seluruh Kota Bima.
Berapa jumlah pastinya di jalan menuju Temba Kolo saya tanyakan dulu pada PPK,” katanya.
Transparansi Dipertanyakan, Publik Menunggu Penjelasan Wali Kota
Meski para pejabat teknis menyebut proyek tersebut sebagai bagian dari program tahun berjalan, publik tetap mempertanyakan mengapa kawasan yang diduga berkaitan langsung dengan kepentingan pribadi kepala daerah justru mendapat prioritas, sementara kebutuhan mendesak masyarakat luas diabaikan.
Transparansi tidak cukup hanya dengan menyebut proyek “program 2025”. Pemerintah Kota Bima wajib membuka secara terang benderang dokumen perencanaan, sumber anggaran, serta alasan prioritas pembangunan kepada publik.
Tanpa penjelasan terbuka dan akuntabel, proyek hotmix dan lampu jalan di Temba Kolo berpotensi menjadi simbol krisis integritas tata kelola pembangunan daerah, sekaligus memperkuat dugaan bahwa kebijakan pembangunan telah bergeser dari kepentingan rakyat menuju kepentingan elite kekuasaan.


