.....apakah "Selasa Menyapa" merupakan sebuah kebutuhan yang rasional dan relevan dalam kerangka belanja tidak terduga? Apakah manfaatnya sebanding dengan konsekuensi fiskal yang harus ditanggung, apalagi jika dilakukan tanpa restu dan pengetahuan legislatif?
Oleh: Taufikurrahman, SH/ Opic Paradewa
Praktisi Hukum
Kasus pergeseran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bima tanpa koordinasi yang disorot oleh Komisi II DPRD, merupakan potret buram lemahnya komunikasi antara eksekutif dan legislatif dalam menyusun dan menjalankan kebijakan anggaran.
Temuan Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Bima, Ramdin, SH, tentang adanya lonjakan anggaran belanja tidak terduga dari Rp 3,5 miliar menjadi Rp 5 milia yang diduga terkait dengan program "Selasa Menyapa" menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap arahan kebijakan nasional, khususnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran.
Menguji Konsep Efisiensi dan Koordinasi dalam Pemerintahan
Efisiensi anggaran bukan semata soal pemangkasan, melainkan juga menyangkut optimalisasi, prioritas, dan prosedur yang tepat. Dalam konteks ini, Inpres No. 1/2025 menjadi rambu penting agar setiap pengeluaran anggaran—terutama yang tidak termasuk dalam prioritas utama pelayanan publik—harus dipertimbangkan secara cermat dan disesuaikan dengan prinsip efektivitas dan akuntabilitas.
Namun sayangnya, dugaan bahwa pergeseran anggaran dilakukan tanpa konfirmasi kepada legislatif mencerminkan adanya praktek pemerintahan yang melemahkan prinsip check and balances. Dalam negara demokrasi, lembaga legislatif bukan sekadar pelengkap prosedur, tetapi mitra sejajar dalam memastikan kebijakan daerah benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan tidak menyalahi koridor hukum yang berlaku.
"Selasa Menyapa": Antara Narasi Populis dan Realitas Tata Kelola
Program "Selasa Menyapa", yang diklaim mendekatkan pemimpin daerah kepada rakyat, pada dasarnya adalah upaya membangun komunikasi publik dan menyerap aspirasi. Namun, program semacam ini tidak boleh berjalan di atas pelanggaran prosedur keuangan negara. Jika benar bahwa sebagian dana pergeseran digunakan untuk menunjang kegiatan ini, maka program tersebut telah kehilangan legitimasi moral dan administratif.
Di sinilah letak persoalan penting: apakah "Selasa Menyapa" merupakan sebuah kebutuhan yang rasional dan relevan dalam kerangka belanja tidak terduga? Apakah manfaatnya sebanding dengan konsekuensi fiskal yang harus ditanggung, apalagi jika dilakukan tanpa restu dan pengetahuan legislatif?
Kegiatan yang bersifat seremonial dan beraroma populisme, jika tidak dikendalikan dengan mekanisme anggaran yang transparan, sangat rawan menjadi alat politik pencitraan belaka. Lebih berbahaya lagi jika menggerus dana daerah yang seharusnya dialokasikan untuk pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur yang menyentuh kebutuhan rakyat secara langsung.
Mewaspadai Anggaran “Siluman” dan Ancaman Terhadap Demokrasi Lokal
Penggunaan istilah “anggaran siluman” oleh DPRD adalah alarm bagi publik. Pergeseran anggaran yang tidak terkoordinasi menandakan absennya partisipasi dan pengawasan publik terhadap kebijakan keuangan daerah.
Jika dibiarkan, praktek ini berpotensi menormalisasi penyalahgunaan wewenang serta memperkuat dominasi eksekutif secara tidak proporsional, sehingga mengkerdilkan peran legislatif sebagai lembaga pengontrol kebijakan.
Kita tidak boleh melupakan bahwa reformasi birokrasi dan tata kelola anggaran yang baik adalah fondasi dari otonomi daerah. Ketika transparansi dan koordinasi dilecehkan, maka otonomi itu sendiri kehilangan makna, dan rakyat menjadi korban dari egoisme institusional.
Rekomendasi dan Refleksi Kritis
1. Evaluasi Menyeluruh Program Selasa Menyapa: Pemerintah Kabupaten Bima perlu membuka diri terhadap evaluasi publik dan legislatif terkait efektivitas dan dampak program ini. Jika memang memberi manfaat, maka harus dijalankan dengan kerangka anggaran yang jelas, transparan, dan terkoordinasi.
2. Perbaikan Tata Kelola Keuangan Daerah: Semua pergeseran anggaran harus melalui mekanisme pembahasan bersama DPRD, agar tidak menimbulkan kesan manipulatif atau otoriter.
3. Peningkatan Peran Legislatif: DPRD Kabupaten Bima harus memperkuat pengawasan anggaran dengan membuka forum-forum publik, audit terbuka, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam pemantauan APBD.
4. Penguatan Implementasi Inpres Efisiensi: Pemerintah daerah harus menunjukkan komitmen terhadap efisiensi bukan sekadar di atas kertas, tapi melalui tindakan nyata yang berpihak pada kepentingan publik.
Penutup
Dalam demokrasi yang sehat, tidak ada ruang bagi program yang diselimuti kabut ketidakterbukaan. "Selasa Menyapa" hanya akan menjadi ironi jika dilaksanakan dengan mengorbankan prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Sudah saatnya Pemerintah Daerah Bima tidak hanya sibuk menyapa rakyat setiap Selasa, tetapi juga memastikan setiap rupiah anggaran benar-benar bicara untuk kepentingan mereka.
Temuan Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Bima, Ramdin, SH, tentang adanya lonjakan anggaran belanja tidak terduga dari Rp 3,5 miliar menjadi Rp 5 milia yang diduga terkait dengan program "Selasa Menyapa" menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap arahan kebijakan nasional, khususnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran.
Menguji Konsep Efisiensi dan Koordinasi dalam Pemerintahan
Efisiensi anggaran bukan semata soal pemangkasan, melainkan juga menyangkut optimalisasi, prioritas, dan prosedur yang tepat. Dalam konteks ini, Inpres No. 1/2025 menjadi rambu penting agar setiap pengeluaran anggaran—terutama yang tidak termasuk dalam prioritas utama pelayanan publik—harus dipertimbangkan secara cermat dan disesuaikan dengan prinsip efektivitas dan akuntabilitas.
Namun sayangnya, dugaan bahwa pergeseran anggaran dilakukan tanpa konfirmasi kepada legislatif mencerminkan adanya praktek pemerintahan yang melemahkan prinsip check and balances. Dalam negara demokrasi, lembaga legislatif bukan sekadar pelengkap prosedur, tetapi mitra sejajar dalam memastikan kebijakan daerah benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan tidak menyalahi koridor hukum yang berlaku.
"Selasa Menyapa": Antara Narasi Populis dan Realitas Tata Kelola
Program "Selasa Menyapa", yang diklaim mendekatkan pemimpin daerah kepada rakyat, pada dasarnya adalah upaya membangun komunikasi publik dan menyerap aspirasi. Namun, program semacam ini tidak boleh berjalan di atas pelanggaran prosedur keuangan negara. Jika benar bahwa sebagian dana pergeseran digunakan untuk menunjang kegiatan ini, maka program tersebut telah kehilangan legitimasi moral dan administratif.
Di sinilah letak persoalan penting: apakah "Selasa Menyapa" merupakan sebuah kebutuhan yang rasional dan relevan dalam kerangka belanja tidak terduga? Apakah manfaatnya sebanding dengan konsekuensi fiskal yang harus ditanggung, apalagi jika dilakukan tanpa restu dan pengetahuan legislatif?
Kegiatan yang bersifat seremonial dan beraroma populisme, jika tidak dikendalikan dengan mekanisme anggaran yang transparan, sangat rawan menjadi alat politik pencitraan belaka. Lebih berbahaya lagi jika menggerus dana daerah yang seharusnya dialokasikan untuk pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur yang menyentuh kebutuhan rakyat secara langsung.
Mewaspadai Anggaran “Siluman” dan Ancaman Terhadap Demokrasi Lokal
Penggunaan istilah “anggaran siluman” oleh DPRD adalah alarm bagi publik. Pergeseran anggaran yang tidak terkoordinasi menandakan absennya partisipasi dan pengawasan publik terhadap kebijakan keuangan daerah.
Jika dibiarkan, praktek ini berpotensi menormalisasi penyalahgunaan wewenang serta memperkuat dominasi eksekutif secara tidak proporsional, sehingga mengkerdilkan peran legislatif sebagai lembaga pengontrol kebijakan.
Kita tidak boleh melupakan bahwa reformasi birokrasi dan tata kelola anggaran yang baik adalah fondasi dari otonomi daerah. Ketika transparansi dan koordinasi dilecehkan, maka otonomi itu sendiri kehilangan makna, dan rakyat menjadi korban dari egoisme institusional.
Rekomendasi dan Refleksi Kritis
1. Evaluasi Menyeluruh Program Selasa Menyapa: Pemerintah Kabupaten Bima perlu membuka diri terhadap evaluasi publik dan legislatif terkait efektivitas dan dampak program ini. Jika memang memberi manfaat, maka harus dijalankan dengan kerangka anggaran yang jelas, transparan, dan terkoordinasi.
2. Perbaikan Tata Kelola Keuangan Daerah: Semua pergeseran anggaran harus melalui mekanisme pembahasan bersama DPRD, agar tidak menimbulkan kesan manipulatif atau otoriter.
3. Peningkatan Peran Legislatif: DPRD Kabupaten Bima harus memperkuat pengawasan anggaran dengan membuka forum-forum publik, audit terbuka, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam pemantauan APBD.
4. Penguatan Implementasi Inpres Efisiensi: Pemerintah daerah harus menunjukkan komitmen terhadap efisiensi bukan sekadar di atas kertas, tapi melalui tindakan nyata yang berpihak pada kepentingan publik.
Penutup
Dalam demokrasi yang sehat, tidak ada ruang bagi program yang diselimuti kabut ketidakterbukaan. "Selasa Menyapa" hanya akan menjadi ironi jika dilaksanakan dengan mengorbankan prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Sudah saatnya Pemerintah Daerah Bima tidak hanya sibuk menyapa rakyat setiap Selasa, tetapi juga memastikan setiap rupiah anggaran benar-benar bicara untuk kepentingan mereka.