"
Praktik rangkap jabatan ini bisa dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan hukum administratif yang menabrak semangat undang-undang, terutama dalam hal checks and balances
"
Oleh: Nabil Fajaruddin
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhamadyah Bima
Fenomena rangkap jabatan kerap menjadi sorotan dalam praktik ketatanegaraan dan tata kelola pemerintahan yang baik. Di Kabupaten Bima, sorotan itu kini mengarah pada Wakil Ketua II DPRD yang secara bersamaan menjabat sebagai Ketua Tim Penggerak PKK (TP-PKK). Pertanyaan pun mencuat: apakah ini sekadar pelanggaran etika publik, atau sudah masuk dalam kategori pelanggaran hukum?
Posisi dan Fungsi yang Berbeda
Wakil Ketua DPRD adalah pejabat publik yang dipilih melalui mekanisme pemilu legislatif dan memiliki tanggung jawab legislasi, penganggaran, dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah. Sementara itu, TP-PKK merupakan organisasi masyarakat mitra pemerintah yang berada di bawah pembinaan langsung kepala daerah dan secara struktur berada dalam orbit eksekutif.
Rangkap jabatan antara legislatif dan posisi strategis dalam organisasi mitra eksekutif ini menimbulkan tumpang tindih kepentingan. Terlebih, PKK bukan sekadar organisasi sosial biasa ia sering terlibat dalam program-program pemerintah yang menyentuh aspek anggaran dan kebijakan publik.
Etika Jabatan dan Konflik Kepentingan
Secara etika, praktik ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar dalam good governance, khususnya soal netralitas, akuntabilitas, dan pencegahan konflik kepentingan. Dalam Code of Conduct bagi anggota DPRD yang tercantum dalam Tata Tertib DPRD dan Pedoman Etik DPRD, integritas dan pemisahan kepentingan pribadi dan publik menjadi landasan moral penting.
Aspek Hukum: Ada Pelanggaran?
Dari sisi hukum, meski belum ada regulasi eksplisit yang melarang secara khusus anggota DPRD merangkap jabatan sebagai Ketua TP-PKK, namun terdapat beberapa norma hukum yang bisa digunakan untuk mengujinya:
1. UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), mengatur larangan bagi anggota DPRD untuk merangkap jabatan pada lembaga lain yang menimbulkan konflik kepentingan atau mengganggu independensi.
2. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menekankan pemisahan fungsi legislatif dan eksekutif.
3. Peraturan Mendagri mengenai kelembagaan dan kedudukan TP-PKK, yang menempatkan Ketua TP-PKK sebagai istri kepala daerah/wakil kepala daerah, bukan seorang pejabat politik legislatif.
Meski abu-abu dalam teks hukum positif, praktik rangkap jabatan ini bisa dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan hukum administratif yang menabrak semangat undang-undang, terutama dalam hal checks and balances.
Penting bagi para pejabat publik untuk menjaga etika dan profesionalitas jabatan. DPRD sebagai lembaga pengawas pemerintah harus bersih dari praktik-praktik yang justru mengaburkan batas kekuasaan dan menciptakan benturan kepentingan.
Kasus ini seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh, baik oleh Badan Kehormatan DPRD, Inspektorat Daerah, maupun lembaga pengawas independen seperti Ombudsman.
Jangan sampai, praktik rangkap jabatan yang tampak sepele ini menjadi pintu masuk bagi penyalahgunaan wewenang dan korupsi tersembunyi.
Hal-hal semacam ini harus menjadi perhatian khusus oleh Mahkamah Konstitusi Dewan (MKD) untuk merespon terkait setiap tindakan dan perilaku Anggota DPRD Kabupaten Bima.