Kemana Arah Perubahan Ady-Irfan: Harapan atau Ilusi?

Advertisement

Kemana Arah Perubahan Ady-Irfan: Harapan atau Ilusi?

28 Apr 2025




Oleh: Fahrul Ramadhan

Pemuda Kecamatan Lambitu


Narasi Perubahan yang dikampanyekan oleh Ady-Irfan belum terdefinisi secara komprehensif. Apakah perubahan yang dimaksud adalah bagian dari alternatif kegagalan Rezim sebelumnya (Dinda-Dahlan)? Apakah perubahan lebih khusus terhadap masalah infrastruktur dan suprastruktur? Atau memang sekedar narasi jualan untuk memikat hati pemilih?

Tentu jawabannya bisa kita terjemahkan sendiri setelah berjalan kurang lebih 6 (Enam) bulan kedepan. Tapi kalau melihat dengan kacamata struktural, perubahan yang diumbar kan sudah cacat sejak dalam pikiran.

Sebaiknya, sebelum mendalami misi perubahan, perlu mendiagnosis terlebih awal apa yang menjadi permasalahan utama yang dihadapi oleh kabupaten Bima, dengan melihat prestasi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM).  Untuk menuju perubahan skala besar dalam konteks peradaban manusia, yang lebih utama diperhatikan adalah kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM). Setelah itu mulai masuk kepada perubahan praktis, seperti; Infrastruktur, penataan birokrasi, keamanan, dan pembangunan sektor rill yang meliputi pendidikan, pertanian, perdagangan, jasa, dll.

Kalau kita menggunakan pendekatan politik, kacamata politik melihat Ady-Irfan lebih besar tantangan nya karena kemampuan di legislatif kurang harmonis, ketimbang Rezim sebelumnya (Dinda-Dahlan). Kalau kepemimpinan sekarang (Ady-Irfan), ketua DPRD nya berada di pihak yang bersebrangan secara politik, begitupun presentasi keseluruhan legislatif 70% tidak mendukung Ady-Irfan pada Pilkada kemarin. Kalau Dinda-Dahlan dalam kepemimpinan nya antara legislatif dan eksekutif berjalan linier "istilah saya", karena Ketua DPRD dari Partai Golkar merupakan anak kandung Dinda (anak biologis dan anak ideologis).

Tentu, dukungan legislatif bukan masalah utama yang tidak bisa teratasi oleh wewenang politik eksekutif. untuk mengamankan seluruh misi politik Ady-Irfan pasti akan melakukan rekonsiliasi, berdamai dengan musuh politik dengan cara bagi-bagi project, saling menutupi aib, dan berupaya bijaksana. Ketakutan terbesar saya, Ady-Irfan terlena pada situasi politik yang dialaminya, sehingga lupa dengan misi politik "Perubahan".

Ketakutan yang berikutnya, Ady-Irfan terlalu mendalami peran sebagai Rezim populis, dengan menyampaikan rasa prihatin terhadap masyarakat yang hanya diungkapkan melalui kata-kata Selasa Menyapa. Selasa Menyapa tidak punya jaminan terpenuhinya aspirasi masyarakat, dan bisa dipastikan Selasa Menyapa tidak akan bertahan lama.

Persoalan lain yang menjadi kekhawatiran, apabila terjadi perselisihan antara kubu Bupati dan Wakil Bupati terkait pembagian jatah struktur birokrasi, sebagaiman hasil mutasi periode kepemimpinan. Hal seperti ini sudah sering terjadi dalam kepemimpinan daerah di Indonesia. Atau perebutan panggung untuk saling muncul dihadapan publik, dengan kepentingan politik 5 (Lima) tahun yang akan datang "ini sangat mungkin terjadi". Kelebihan Dinda-Dahlan pada saat memimpin periode kemarin mampu mengharmoniskan birokrasi, itu terlihat dari simbol Dinda-Dahlan berpasangan selama 2 (Dua) periode kepemimpinan, sewalaupun orientasi kebijakan menguntungkan lingkarannya.

Belum lagi pemenuhan hak politiknya para tim. Yang paling parah memiliki tim yang suka rusuh "kalau disuap nurut, kalau dibiarkan memberontak". Mau tidak mau Ady-Irfan harus memelihara tim-tim ini, biasanya berasal dari kalangan aktivis bermodal nois, suka tempramen, narasi non akademis, dan tentu saja memiliki kemampuan bersilat lidah.

Dari persoalan ini, jangan sampai orientasi kepemimpinan Ady-Irfan akan mirip seperti Kepemimpinan Dinda-Dahlan "semata-mata mengejar karier politik" sewalaupun dengan gaya yang berbeda. Rasa-rasanya untuk bergerak kearah sana (mengejar karier politik) sudah mulai tercium aroma-aroma nya.

Kalau serius menuju misi perubahan, saya ingin tanyakan. Teori perubahan mana yang hendak ingin dipakai oleh Ady-Irfan? Ada teori evolusi, teori siklus, teori fungsional, teori konflik, teori gerakan sosial, teori linier, dan konsep nya seperti apa? Kalau tidak punya landasan teori dan konsep berarti orang bebas menafsirkan, bisa juga didefinisikan "perubahan yang digaungkan semata-mata untuk kekayaan pribadi". Kita sebagai masyarakat sipil harus terus mempertanyakan soal misi perubahan ini!

Kemana Arah Perubahan Ady-Irfan?


Perubahan yang dinarasikan tersebut belum ada Kompas sebagai petunjuk, mau dibawa kemana perubahan ini? Takutnya, perubahan yang hendak dituju berbeda dengan penafsiran nahkoda dan penumpang. Harusnya konsep perubahan sudah diterjemahkan sebelum menjabat "kalau begini penumpang perubahan kesasar ditengah jalan" begitulah istilah yang tepat untuk merespon perubahan yang dikembangkan oleh Ady-Irfan.

Untuk memastikan perubahan ini tidak terarah bisa melihatnya secara struktural, bukan hanya dilihat dari simbol Ady-Irfan sebagai Bupati dan Wakili Bupati. Semisalnya dari sisi kemampuan fiskal, dimana kabupaten Bima mengandalkan dana transfer semata, karena pendapat daerah kabupaten kabupaten Bima sangatlah rendah, tidak mampu untuk memastikan pembangunan yang sifatnya otonom. Pertanyaan, perubahan seperti apa yang ingin digapai oleh kabupaten Bima, dengan kemampuan keuangan yang minim. Paling besar yaitu anggaran belanja pegawai Kabupaten Bima untuk Tahun Anggaran 2025 telah ditetapkan melalui Rapat Paripurna ke-9 Masa Sidang III DPRD Kabupaten Bima pada 29 November 2024, dan tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 senilai Rp2,12 triliun.

Ditambah lagi dengan tradisi Nepotisme terus tumbuh, karena jabatan struktural kebawah (kepala dinas) diatur sepenuhnya oleh jabatan politik (Bupati dan Wakil Bupati). Maka yang mengisi jabatan struktural kebawah, diisi oleh orang-orang dekat Bupati dan Wakil Bupati, sehingga berpengaruh terhadap kerja birokrasi yang tidak profesional. Karena mengutamakan kualitas tapi bukan kualitas. Perubahan seperti apa yang ingin digapai, kalau dijalankan oleh agensi yang minim kapasitas?

Sebagai trend nasional, pejabat daerah yang disukai oleh rakyat adalah bergaya populis. Populis yang cenderung dipakai oleh Ady-Irfan, bagaimana berpura-pura mengikuti gaya masyarakat, seperi, kesederhanaan penampilan, nongkrong pinggir jalan, makan bareng rakyat. Padahal tugas bupati adalah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah, sedangkan tugas wakil bupati adalah membantu bupati dalam melaksanakan tugasnya. Untuk memastikan pekerjaan kebawah masih punya dinas-dinas, bupati dan wakil bupati sifatnya mengkomandoi. Apakah mungkin, perubahan bisa dilakukan hanya sekedar rajin sosialisasi?

Bukan pekerjaan bupati dan wakil bupati mengambil pekerjaan populis semacam ini, pekerjaan tersebut bisa dilakukan oleh RT-RW di tingkat desa dan kelurahan. Prestasi Bupati dan Wakil Bupati bisa di lihat apabila tugas dan fungsinya berjalan,  bukan dari interaksi sosial yang berpenampilan sederhana.

Kita Butuh Perubahan Fundamental, Bukan Jargon atau Ilusi


Latar belakang Ady-Irfan ikut serta dalam kontestasi politik Pilkada kabupaten Bima, tidak lain sebagai misi untuk menaikkan level politik. Biografi Ady Mahyudin dalam politik kita semua sudah tau, beliau orang gagal beberapa kali dalam Pilkada kabupaten Bima. Tapi beliau pernah menjadi DPRD Provinsi, kenapa di DPRD tidak dimanfaatkan dengan baik untuk menyuarakan aspirasinya rakyat Bima dan lebih memilih untuk mengundurkan diri, kalau bukan karena jabatan yang lebih tinggi? Secara kemapuan finansial Ady-Irfan juga adalah masuk dalam daftar orang kaya di kabupaten Bima.

Perubahan itu perkara yang fundamental, tahapan-tahapan nya juga harus fundamental. Perubahan nasib rakyat tidak bisa di titipkan kepada orang-orang yang haus kekuasaan semacam ini. Orang yang memimpin perubahan haruslah intelektual dengan keberpihakan terhadap rakyat, keseharian bersama rakyat, merasakan kepahitan hidup kaum petani di kabupaten Bima, memperjuangkan nasib rakyat sejak dini (alias bukan pas jadi bupati).

Betapa bagus-bagusnya misi para Legislatif, Yudikatif, dan eksekutif di kabupaten Bima. Tapi misi tersebut ditelan bumi. Sekali lagi, kita butuh pemimpin yang benar-benar lahir dari persoalan rakyat Bima, bukan dilihat dari jenjang karir politiknya.

Sadar atau tidak, para aktivis di kabupaten Bima saat ini, kebanyakan menjadi kurir politik bukan malah jadi petarung. Kuri politik yang dimaksud, tidak lain seperti promotor (tim pemenang) yang membawa logistik sini sana, membela mati-matian figur politik yang tidak masuk dalam konteks kajian yang ditekuni.

Para kritikus, akademisi, aktivis, dan seluruh rakyat kabupaten Bima yang menginginkan perubahan fundamental. Mari mengawali langkah yang sebelumnya belum pernah ditempuh oleh politikus elite, yaitu mengkonsolidasikan diri untuk bertarung secara elektoral melawan politik dominan