Oleh: Iwan Nurdin
Majelis Pakar Konsorsium Pembaharuan Agraria
Gen Z adalah generasi yang lahir dari koneksi internet dan dibesarkan oleh arus informasi yang deras. Setelah kejadian di Jakarta dan Nepal, suara mereka yang keras sedang menjadi perhatian banyak kalangan.
Menurut saya, Gen Z bukan lagi sekadar anak muda yang memberontak. Mereka telah menjadi pasukan terorganisir, lengkap dengan data, infografis, dan kemampuan viral yang mematikan. Kemarahan mereka bersumber pada data, grafik, dan analisis kebijakan yang mereka serap sendiri dari berbagai website dan AI. Jadi jangan mengira mereka tidak paham.
Banyak kalangan khususnya pemerintah, elit, akademisi masih menggunakan cara-cara lama dalam merespons generasi ini. Tetapi upaya usang tersebut tersebut terasa seperti memaksakan kunci besi ke dalam gembok yang telah berevolusi menjadi gembok digital.
Biasanya, cara usang yang pertama keluar dari pemerintah adalah janji kosong "Kami mendengar suara kalian," atau "Ini akan kami kaji mendalam." Ingat, kalimat semacam ini bagi telinga generasi sebelumnya mungkin meneduhkan. Namun, bagi Gen Z, kalimat semacam ini adalah SINYAL BAHAYA. Jari-jari mereka langsung menari di atas papan ketik, mencari arsip janji serupa di dunia digital yang ternyata tak pernah tenggelam. Mereka adalah pengarsip hidup.
Mereka tahu sebuah janji, apalagi sudah terekam di dunia digital tanpa timeline pelaksanaan yang jelas hanyalah angin lalu. Retorika kosong semacam ini dapat dengan mudah bagi mereka berubah menjadi bensin yang menyulut api kemarahan.
Gen Z sudah membaca pola, bahwa response pemerintah dan elit dalam melihat kemarahan mereka yang tak juga padam akan masuk kepada pola kedua: Pemerintah dan elit mencoba pendekatan yang lebih hangat: Simbolisasi Dialog.
Dalam tahap ini, beberapa influencer dengan follower yang banyak akan diundang ke istana atau kantor kementerian. Ada sesi foto, jabat tangan, dan senyum yang dikurasi dengan rapi untuk konsumsi media. "Lihat, kami telah mendengarkan kalian," begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan kepada Gen Z.
Pemerintah lupa bahwa mata generasi ini begitu tajam. Mereka dapat membedakan mana yang dialog otentik, mana yang sekadar tokenisme—alias pencucian image dengan menggunakan beberapa wajah muda sebagai tameng.
Segera saja, kredibilitas influencer yang diundang itu diuji di ruang komentar sendiri. "Dijual berapa?" Akhirnya, pertemuan yang seharusnya dapat meredakan justru melahirkan gelombang cibiran baru, karena tidak ada hasil nyata yang lahir dari pertemuan seremonial tersebut. Itu semua dianggap sebagai pertunjukan wayang di era digital.
Ketika dua strategi elit dan pemerintah gagal, naluri lama penguasa pun keluar: Defleksi dan Represi. Kemarahan yang berbasis data dan kompleks disederhanakan menjadi masalah hoaks atau kurangnya pemahaman.
Ini adalah bentuk perilaku gaslighting yang menurut mereka justru sangat menghina. Pada fase ini, buzzer bayaran elit dan pejabat dikerahkan untuk membanjiri komentar dengan narasi positif yang dipaksakan. Akun-akun para kritik dilaporkan, di-take down dan beragam represi lainnya.
Bagi elit dan pemerintah, langkah ini mungkin seperti hendak memadamkan api. Tapi bagi Gen Z, ini adalah sebuah pengakuan atas ketidakberdayaan. Tindakan represif tersebut adalah bukti nyata bahwa suara mereka ditakuti, bahwa kritik mereka valid. Alih-alih padam, api kemarahan gen Z itu justru membesar, disiram oleh bensin solidaritas sesama netizen yang melihat tindakan itu sebagai bentuk kesewenang-wenangan.
Upaya elit dan pemerintah untuk "turun ke gelanggang" dengan membuat akun medsos sering gagal. Kehadiran mereka dirasa canggung, tidak autentik. Apalagi jika melihat para orang tua yang mencoba memakai bahasa slang anak muda ini dengan cara yang salah.
Lantas harus bagaimana? Sebenarnya, menurut informasi mereka sendiri, generasi ini lebih menghormati elit atau pejabat yang jujur mengatakan "Saya belum paham platform ini, tapi saya menggunakan untuk mengajak berdialog" daripada yang berusaha keras menjadi "kekinian" namun terasa palsu dan tidak berani live.
Sebenarnya, kegagalan respon elit dan pemerintah ini sebabkan oleh adanya satu jurang pemisah yang dalam yakni: pola pikir yang berbeda. gap generasi.
Apa itu? Pemerintah berpikir dalam kerangka "mengelola persepsi" dan "mencari legimitasi" dengan menggunakan perangkat lama: wacana, seremonial, dan tekanan. Sementara Gen Z hidup dalam dunia yang menuntut "autentisitas, transparansi, dan kolaborasi".
Mereka tidak butuh dibujuk. Mereka butuh diajak bicara jujur, dianggap sebagai mitra yang setara, dan yang paling penting, mereka ingin melihat Aksi Nyata.
Mereka marah dengan simbol seolah-solah didengar, padahal tidak ada yang benar-benar berubah. Keyakinan mereka bahwa Narasi Kegagalan pemerintah adalah: janji kosong, pertemuan simbolis, dialog palsu, dan setiap upaya represif dalam dunia digital hanyalah babak dari response dan semakin memperkuat keyakinan bahwa pandangan merekalah yang benar.
Jadi mengapa mereka mudah terbakar dengan mobilisasi yang begitu massif di jalan-jalan, karena pola-pola pemerintah dan elit dalam memahami mereka sudah dibaca sebagai dalih dari Narasi Kegagalan.