Oleh: Radhar Tribaskoro
Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
Kebijakan perpajakan selalu menjadi isu sensitif di negara berkembang, termasuk Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir, berbagai upaya pemerintah untuk menaikkan tarif pajak kerap menuai resistensi publik. Protes terbaru mencuat di Kabupaten Pati ketika Pemkab menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250%. Kebijakan itu memang dibatalkan, tetapi kemarahan rakyat tak reda; mereka tetap menuntut bupati mundur.
Fenomena ini bukanlah kasus tunggal. Sebelumnya, rakyat juga resisten terhadap rencana peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, serta menolak keras wacana pengenaan pajak pada sembako, pendidikan, dan bahkan karbon. Apa arti semua penolakan ini?
Resisten Kepada Siapa?
Sekilas, resistensi publik terhadap kebijakan pajak dapat dianggap sebagai tanda melemahnya dukungan terhadap pemerintah. Padahal konteksnya lebih kompleks. Presiden Prabowo sejak awal kepemimpinannya menekankan betapa berbahayanya lingkungan strategis di hadapan kita: beban fiskal yang menumpuk akibat utang, politik uang yang merajalela, lembaga hukum yang kerap diperalat, dan dinamika global yang kian bergejolak menuju multipolarisme.
Dalam kondisi demikian, ia menyerukan pentingnya persatuan nasional. Persatuan ini, jika tercapai, akan melahirkan stabilitas politik yang memungkinkan energi bangsa difokuskan pada pembangunan. Namun persatuan juga membawa sisi “pahit”: adanya pengorbanan, termasuk keharusan rakyat membayar pajak lebih tinggi.
Maka muncul pertanyaan: ketika rakyat menolak kenaikan pajak, apakah itu berarti mereka menolak gagasan persatuan nasional Presiden Prabowo?
Persatuan Elit Bukan Persatuan Nasional
Jawabannya: tidak. Resistensi terhadap pajak bukanlah penolakan terhadap persatuan nasional, melainkan refleksi dari persepsi ketidakadilan dan ketidakpercayaan. Namun sebelum menelaah tiga faktor ini, ada hal mendasar yang perlu diluruskan: apa yang dimaksud dengan persatuan nasional?
Selama ini, persatuan nasional kerap diterjemahkan sebagai persatuan elit. Presiden Prabowo bersikap legawa: ia merekrut hampir semua pihak, lawan maupun kawan, ke dalam pemerintahan. Di legislatif, koalisi besar terbentuk; praktis hanya PDI Perjuangan yang berada di luar lingkar kekuasaan. Kabinet pun membengkak, menampung berbagai kelompok politik dan sosial. Jabatan komisaris serta direksi BUMN turut dibagi kepada tokoh lintas partai. Semua itu dilakukan demi mewujudkan persatuan nasional.
Namun, Koalisi Besar, Kabinet Gemuk, dan Posisi Teknokratis tidak serta merta mempersatukan rakyat. Rakyat justru melihatnya dengan nanar, mereka tidak merasa diajak terlibat, hanya menjadi penonton kompromi elit.
Beban yang Adil
Oliver Wendell Holmes Jr., Hakim Agung Amerika Serikat, pernah berkata: “Taxes are what we pay for civilized society.” Pajak adalah harga yang kita bayar untuk masyarakat yang beradab. Tetapi bayangkan seorang warga Pati yang ditagih PBB tiga kali lipat bertanya dalam hati: “Apakah dengan membayar pajak saya lebih mudah memperoleh keadilan?”
Pertanyaan ini wajar, sebab mereka menyaksikan hukum sering kali tajam ke bawah, tumpul ke atas; korupsi merajalela; hukuman terhadap pejabat korup begitu ringan; sementara aktivis yang kritis dikriminalisasi. Pajak dalam konteks seperti ini kehilangan makna moralnya. Perlawanan bukanlah sikap anarkis, melainkan reaksi logis terhadap beban yang tidak disertai rasa adil.
Protes atas ketidakadilan ini bukan monopoli Indonesia. Sejarah dunia memperlihatkan bahwa protes pajak hampir selalu terkait dengan rasa tidak percaya. Di Prancis abad ke-18, ketidakadilan pajak—di mana rakyat jelata menanggung beban, sementara bangsawan dan gereja dibebaskan—menjadi salah satu pemicu Revolusi 1789.
Di era modern, protes Yellow Vests 2018 di Prancis pun lahir dari alasan serupa: rakyat merasa kenaikan harga energi sebagai akibat adanya transisi energi dibebankan secara tidak adil kepada kelas menengah ke bawah, sementara elite korporasi terhindar.
Pajak untuk Kepercayaan
Di balik resistensi publik terhadap pajak tersimpan persoalan yang lebih dalam: krisis kepercayaan. Rakyat tidak menolak pajak karena tidak ingin berkontribusi, tetapi karena mereka tidak percaya pajak digunakan dengan benar. Mereka melihat dana pajak bocor dalam praktik korupsi, dipakai untuk kepentingan politik, atau dialokasikan pada proyek mercusuar yang tidak menyentuh kebutuhan rakyat sehari-hari.
Krisis kepercayaan seperti ini terjadi di Chili pada 2019. Kenaikan tarif metro memang kecil secara nominal, tetapi dipandang sebagai simbol tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dari para pengambil keputusan. Dari protes tiket, lahir tuntutan reformasi konstitusi.
India pun memberi pelajaran serupa. Petani kecil menilai reformasi pasar agraria sebagai bentuk “pajak terselubung” yang menguntungkan korporasi. Aksi duduk berjuta-juta petani di jalan berbulan-bulan akhirnya memaksa pemerintah mencabut undang-undang.
Pelajaran dari berbagai negara ini konsisten: penolakan pajak bukanlah ekspresi anti-nasional, melainkan tanda bahwa masyarakat masih peduli, masih menuntut, dan masih ingin negara memperbaiki tata kelola distribusi beban.
Pajak dan Persatuan Nasional
Presiden Prabowo telah menekankan persatuan nasional sebagai modal menghadapi tantangan besar: defisit fiskal, politik uang, lembaga hukum yang diperalat, dan multipolarisme global. Secara politik, koalisi besar yang ia bangun sudah cukup memberinya legitimasi.
![]() |
Demonstrasi ratusan ribu masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Timur, menolak kenaikan pajak 250%, Rabu (13/8/2025). |
Namun resistensi rakyat terhadap kebijakan pajak menunjukkan bahwa legitimasi saja tidak cukup. Persatuan nasional sejati membutuhkan dua fondasi tambahan: keadilan dan kepercayaan rakyat. Tanpa keadilan, pajak dipersepsikan sebagai instrumen penindasan. Tanpa kepercayaan, setiap kebijakan fiskal akan dibaca sebagai upaya menguras kantong rakyat untuk kepentingan elite.
Jika ditafsirkan dengan pendekatan konstruktif, resistensi rakyat terhadap pajak adalah masukan, bukan ancaman. Ia menandakan bahwa rakyat masih peduli, masih bersuara, dan masih menuntut agar negara berjalan di jalur yang adil. Justru di sinilah peluang: pemerintah dapat mengubah kritik menjadi modal membangun kembali kepercayaan.
Kesimpulan
Penolakan publik terhadap kenaikan pajak di Indonesia lebih tepat dipahami sebagai kritik terhadap kebijakan fiskal yang dianggap tidak adil, bukan penolakan terhadap gagasan persatuan nasional. Persatuan sejati membutuhkan tiga pilar: legitimasi, keadilan, dan kepercayaan rakyat.
Pengalaman Prancis, Chili, dan India menunjukkan bahwa protes pajak sering kali merupakan alarm moral: rakyat ingin negara adil dalam membagi beban. Dengan merespons suara rakyat secara reflektif, Presiden Prabowo dapat memperkuat persatuan nasional bukan hanya di tingkat elit politik, tetapi juga di akar masyarakat.