Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pajak dan Revolusi

15 Agu 2025 | 8/15/2025 WIB | 0 Views



Oleh: Iwan Nurdin

Majelis Pakar Konsorsium Pembaharuan Agraria

Pajak telah lama menjadi pemicu revolusi besar dan pemberontakan di banyak belahan dunia. Apalagi ketika dirasakan tidak adil, memberatkan, dan dipungut tanpa akuntabilitas.

Revolusi Amerika (1775-1783): memiliki Slogan terkenal No Taxation Without Representation (Tidak Ada Pajak Tanpa Perwakilan) menjadi inti perlawanan kolonis Amerika terhadap Inggris.

Pajak yang dipaksakan oleh Parlemen Inggris tanpa melibatkan perwakilan koloni dianggap sebagai bentuk penindasan dan pelanggaran hak. Pemberontakan seperti *Boston Tea Party* (protes terhadap pajak teh) adalah pemicu langsung menuju perang kemerdekaan.

Revolusi Prancis (1789), juga dikarenakan sistem pajak yang sangat timpang dan korup merupakan salah satu akar kemarahan rakyat. Bangsawan dan Gereja (Estates Pertama dan Kedua) hampir bebas pajak, sementara rakyat jelata (Estate Ketiga) menanggung beban berat untuk membiayai gaya hidup istana dan perang. Ketidakadilan fiskal ini adalah bahan bakar utama yang meledakkan revolusi.


Bayangkan saja jika pejabat diberi rumah jabatan, supir, kendaraan mewah, ajudan pribadi, pengawal untuk istri dan anak. Angkuh di jalan-jalan di tengah rakyat yang terengah-engah mengejar ongkos hidup dan dipajaki setiap hari.


Di Indonesia, pada masa kolonial Pajak tentu saja sebagai alat eksploitasi kolonial yang telah menjadi pemicu perlawanan. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel): Ini adalah bentuk pajak ‘in kind’ (berupa barang) yang sangat kejam. 

Paksaan menanam komoditas ekspor dan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah merupakan pemerasan pajak terselubung yang memiskinkan dan memakan banyak korban jiwa, memicu protes lokal dan penderitaan massal.

Ada beragam pungutan Pajak Uang yang Memberatkan: Pajak Kepala (Hoofdgeld), Pajak Pendapatan (Personele Belasting) dan Pajak Tanah (Landrente) dipungut secara paksa, seringkali dengan kekerasan dan korupsi oleh aparat pemungut pajak dan kepala daerah. Rakyat yang sudah miskin semakin tercekik.

Contoh Nyata Perlawanan Pemberontakan Banten 1888: yang menentang Pajak Pendapatan (Personele Belasting) yang dipungut secara sewenang-wenang dan tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi adalah pemicu langsung utama pemberontakan besar ini.

Mengapa Pajak Sering Jadi Sumber Pemberontakan? 

Pertama, Sentuhan Langsung ke Kantong Rakyat: Pajak dirasakan langsung oleh rakyat, mengurangi penghasilan dan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Ketika dirasa memberatkan dan tidak adil, kemarahan mudah tersulut. 

Kedua, Menjadi Simbol Penindasan dan Ketidakadilan: Sistem pajak yang timpang (yang kaya bebas/mendapat keringatan, yang miskin terbebani) atau pajak yang dipungut oleh penguasa otoriter menjadi simbol nyata penindasan dan ketidakadilan. 

Ketiga, Tanpa Keterwakilan dan Akuntabilitas (No Taxation Without Representation): Rakyat marah ketika dipaksa membayar pajak tetapi tidak punya suara dalam pengambilan keputusan (tidak diwakili) atau tidak melihat manfaat pajak tersebut untuk kesejahteraan mereka (tidak ada akuntabilitas). 

Keempat,  Pemungutan yang Keras dan Korup: Metode pemungutan yang kasar (tagihan tiba-tiba misalnya) dan penuh praktik korupsi oleh aparat pemungut pajak

Terakhir, persoalan Pajak sering menjadi "pemicu" (trigger) bagi masalah yang lebih besar dirasakan rakyat. Pemberontakan pajak adalah gejala permukaan dari masalah yang lebih dalam pemerintahan seperti ketimpangan ekonomi, hutang, korupsi, dan ketiadaan keadilan sosial.
×
Berita Terbaru Update