Kota Bima, NTB - bimakita.com || Perdebatan soal penyebab banjir dan kerusakan hutan di wilayah Kota Bima memanas. Walikota Bima, H. A. Rahman, dan Kepala Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Maria Donggomasa, Akhyar, saling memberikan pernyataan terbuka yang menunjukkan perbedaan pandangan terkait akar masalah bencana banjir yang kerap melanda daerah tersebut.
Dalam pernyataannya yang dikutip dari laman Diskominfo Kota Bima, Walikota menegaskan perlunya tindakan tegas terhadap perusakan hutan di wilayah hulu.
![]() |
| Wali Kota Bima, H. A. Rahman |
“Saya sudah sampaikan dan koordinasi dengan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB untuk segera mengambil sikap tegas tentang persoalan ini,” ujarnya, Selasa (4/11).
Ia juga mengingatkan masyarakat akan potensi terulangnya banjir besar seperti tahun 2016.
“Kita tidak berharap siklus banjir besar terjadi lagi pada 2026 ini. Tapi kita butuh kesiapsiagaan menghadapi musim hujan, apalagi kondisi di hulu sudah rusak,” tambahnya.
Wali Kota menyoroti lemahnya peran BKPH Maria Donggomasa dalam menjaga hutan.
“Peran KPH Maria Donggomasa ini lemah, karena efeknya kita yang rasakan. Maka saya minta Camat dan Lurah berkoordinasi dengan Babinsa dan Bhabinkamtibmas untuk memantau masyarakat yang membuka lahan baru,” tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala BKPH Maria Donggomasa, Akhyar, membantah tudingan itu melalui pemberitaan Kahaba.net pada Rabu (5/11).
![]() |
| Kepala BKPH Maria Donggomasa, Akhyar |
“Orang sering bicara hutan kawasan rusak menjadi penyebab banjir. Padahal banjir tidak semata-mata disebabkan oleh kondisi hutan kawasan. Justru banyak terjadi di lahan miring milik masyarakat di luar kawasan,” jelas Akhyar.
Ia juga menegaskan batas tanggung jawab BKPH.
“Kami hanya berwenang di dalam kawasan hutan. Untuk lahan di luar kawasan, itu menjadi kewenangan pemerintah daerah,” katanya.
Namun, data temuan dari Jaringan Peduli Lingkungan Hidup Bima (JPLHB) justru menunjukkan hal berbeda. Berdasarkan hasil pemantauan lapangan yang dilakukan beberapa bulan terakhir, kerusakan hutan kawasan di wilayah hulu Kota dan Kabupaten Bima telah mencapai sekitar 60 persen. Angka ini mencakup area di sepanjang perbukitan yang gundul akibat pembukaan lahan baru dan aktivitas penebangan liar.
Temuan tersebut dibantah oleh Akhyar yang menyebut bahwa tingkat kerusakan hanya 15 persen, berdasarkan data internal BKPH. Namun, JPLHB menilai data itu tidak akurat dan tidak sesuai kondisi faktual di lapangan.
“Angka 15 persen yang disampaikan BKPH Maria Donggomasa tidak realistis. Berdasarkan observasi kami, tutupan hutan di banyak titik kritis sudah jauh menurun,” ungkap perwakilan JPLHB.
Perbedaan pandangan antara Pemkot Bima dan BKPH Maria Donggomasa dinilai menunjukkan lemahnya koordinasi antara pemerintah kota dan unsur pemerintah provinsi dalam urusan pengelolaan lingkungan. Saling bantah soal data dan kewenangan justru memperlambat langkah konkret dalam mitigasi bencana.
Ilhamuddin, Pengamat lingkungan menilai, daripada saling menyalahkan, kedua pihak seharusnya membangun kolaborasi dan basis data bersama agar kebijakan penanganan hutan dan banjir di Bima bisa dilakukan secara terukur dan berkelanjutan.
Selain faktor kerusakan hutan, banjir di Bima juga dipicu oleh persoalan drainase sempit, sedimentasi sungai, tumpukan sampah, dan tata ruang kota yang belum berbasis ekologis.
Perdebatan antara Walikota Bima dan BKPH Maria Donggomasa ini diharapkan segera menemukan titik temu agar langkah pencegahan banjir jelang puncak musim hujan tidak terhambat oleh tarik ulur kepentingan dan data yang saling bertentangan. (Red)


